Ada pertanyaan menggelitik ketika beberapa kali melakukan sosialisasi tentang manfaat Hutan Rakyat bersertifikat FSC yang menjadi acuan program kerja Kostajasa di beberapa desa. Bukan sekali dua kali, pertanyaan itu mencuat oleh pemikiran petani di desa. "Pak, kalau dengan memiliki sertifikat FSC atau sudah diakui oleh lembaga dunia kita melakukan pengelolaan hutan lestari, tetapi kenapa bangunan pemerintah masih tidak peduli untuk memberikan contoh pakai kayu yang bersertifikat ya?", tanya mbah Karto, sesepuh KTH di Desa Candi, Karanganyar-Kebumen. Pertanyaan sederhana, dan keinginan sederhana dari rakyat yang mengusahakan untuk bergulat dengan segala hal untuk kelestarian hutan, ingin agar pemerintah yang di "mata rakyat" banyak uangnya, kenapa tidak membeli kayu yang berasal dari hutan lestari mereka.
Pertanyaan itu kembali berdengung lebih kencang, manakala team sosialisasi Kostajasa menyampaikan adanya peraturan pemerintah yang MEWAJIBKAN seluruh produk kayu dari sumber hingga hasil akhir telah bersertifikat Legalitas Kayunya (VLK-Verifikasi Legalitas Kayu). Atau dalam bahasa lebih keren bahwa SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) merupakan Sertifikasi Mandatory (WAJIB). Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 38/Menhut-II/2009. Jadi kalau di Kebumen, petani yang tergabung dalam KSU Taman Wijaya Rasa menggunakan standar pengelolaan hutan lestari dari FSC yang sifatnya pilihan (Voluntary), sementara SVLK wajib bagi seluruh wilayah Indonesia, baik itu asal kayu (hutan) maupun produk kayunya (pabrik/industri), dan tidak hanya untuk industri yang berorientasi ekspor saja tetapi juga dalam negeri.
Kembali ke pertanyaan sebagaimana dilontarkan mbah Karto, sungguh teramat sangat sulit untuk dijawab. Jangankan Pemda menggunakan produk kayu bersertifikat, sementara jajaran teknis di Pemerintah Daerah hampir seluruhnya belum memahami apa itu SVLK. Padahal, sudah jelas dicanangkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, SVLK harus sudah dilaksanakan di semua lini pada tahun 2013.
(bersambung)