Pages

Friday, 7 November 2008

FSC ala Kebumenan....

Apa sih jan-jane FSC? Apa pada bae karo TFT? Bahasane bae angel banget, apamaning koh dikon nglakoni ? Tingkate dunia maning…. Apa ora ngayawara?” terjemahan bebasnya kurang lebih: “apa sebenarnya FSC? Apakah sama dengan TFT? Dari bahasanya saja sudah sulit, apalagi disuruh menjalani? Tingkat dunia lagi….. Apa tidak terlalu menghayal?
Kalimat itu seringkali terucap pada Anggota KTM saat pertama kali Team TFT melakukan sosialisasi Program Hutan Rakyat Mahoni. Kalimat itu hingga kini masih kadang terdengar oleh anggota KTM yang belum memahaminya, namun lebih sering terdengar oleh warga yang bukan Anggota KTM. FSC (Forest Stewardship Council) adalah lembaga Independent tingkat dunia yang mengeluarkan Sertifikasi sebagai Pengakuan untuk masalah Pengelolaan bidang Kehutanan. Sebagai dasar dari pemberian Sertifikasi, FSC mempunyai Prinsip dan Kriteria yang harus dijalankan oleh Lembaga/Institusi/Perusahaan yang mengajukan diri untuk memperolehnya. Ada 10 Prinsip dan 56 Kriteria yang dibuat untuk dijalankan sesuai dengan beberapa kategori perusahaan/lembaga yang dinilai. Perusahaan Kehutanan (HPH) tentu berbeda dengan Hutan Rakyat, atau pada pabrik selaku pengolah bahan baku kehutanan. Begitu juga dengan Hutan Rakyat Mahoni yang dikelola oleh KOSTAJASA (KSU Taman WIjaya Rasa-Kebumen), dalam rencana pengajuan penilaian akan dimasukan dalam kategori SLIMF (Small and Low Intensity Managed Forest) atau Pengelolaan Hutan dengan Intensistas Kecil dan Rendah.
Untuk dapat menjelaskan dan memberikan pemahaman kepada Anggota KTM yang rata-rata pendidikannya SLTA, SMP, bahkan banyak juga yang hanya lulus SD, Team JCM TFT dan Pengurus Kostajasa harus mencari kosa kata ataupun kalimat yang mudah dicerna. Apalagi bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari sangat dominan dalam setiap kegiatan di KTM. Tentunya akan lebih mudah menyampaikan dalam bahasa Jawa, tentunya dengan dialek Kebumenan yang khas.

10 Prinsip FSC tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ketaatan pada Hukum dan Prinsip FSC
2. Tenurial dan Hak Guna serta Tanggung Jawab
3. Hak Masyarakat Adat.
4. Hubungan Masyarakat dan Hak Pekerja.
5. Manfaat Hutan.
6. Dampak Lingkungan.
7. Rencana Pengelolaan.
8. Monitoring dan Evaluasi.
9. Hutan Bernilai Konservasi Tinggi (HCVF).
10. Hutan Tanaman

Dari 10 Prinsip tersebut terinci dalam 56 Kriteria lagi. Kriteria yang ada tidak sepenuhnya sesuai dengan pengelolaan Hutan Rakyat Mahoni Kostajasa, beberapa hal yang membedakannya adalah kepemilikan lahan adalah milik masyarakat atau bukan hutan negara, juga luasannya yang tidaklah besar (saat ini 104 ha), dan dalam penilaiannya berupan Group Sertification, karena Kostajasa merupakan Pengelola dari Gabungan Kelompok Tani Mahoni yang tersebar di 13 desa.
10 PRINSIP FSC ala KEBUMENAN
Bagaimana menerjemahkan bahasa ilmiah dalam 10 Prinsip FSC di atas menjadi bahasa Jawa Kebumenan, tentulah perlu pemikiran ekstra. Team TFT dan Kostajasa, berhati-hati dalam penggunaan bahasa, karena bilamana salah maka berbeda pula arti dan maknanya. Untuk itu, lebih dititik beratkan pada tukar pikiran dan dialog, istilahnya di Kebumen yakni Gendu-Gendu Rasa. Selain sosialisasi secara kelompok dalam pertemuan regular, juga pada pertemuan kecil, atau juga dari pintu ke pintu. Sarana lain untuk sosialisasi juga dilakukan dengan diadakannya pelatihan-pelatihan, serta dibuatnya kalender dengan beberapa foto kegiatan di KTM-KTM yang sudah dijalankan.
Membahasakan Prinsip FSC ala Kebumenan mungkinkah itu? Sebagai contoh adalah bagaimana menerjemahkan Prinsip ke-1 yaitu Ketataatan pada Hukum dan Prinsip FSC. Team TFT dan Kostajasa mencoba menggunakan kalimat “Ora kena nglanggar aturan apa bae, kawit ngisor tekan nduwur” yang terjemahan bebasnya :”Tidak boleh melanggar peraturan apapun, dari peraturan terbawah sampai peraturan paling atas". Untuk mudahnya maka Team Sosialisasi menjelaskan pada apa yang sudah dan belum dilaksanakan untuk pemenuhan Prinsip ke- 1 di atas.
Berikut ini cuplikan obrolan antara Anggota KTM (KTM) dan Tim Sosialisasi (TS) untuk memberikan pemahaman Prinsip ke-1 FSC:
TS : “Bapak-bapak kan kagungan SPPT kabeh mbok karangane?(Bapak-Bapak pekarangan/lahannya kan punya SPPT semua?)
KTM : “SPPT sih napa pak?
(SPPT itu apa pak?)
TS : “SPPT niku Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, gampange bukti nek sampun mbayar pajak lemahe pak
(SPPT itu Surat Pemberitahuan Pajak Terutan, mudahnya, bukti kalo sudah membayar pajak lahan bapak)
KTM : “Oooo…Tupi nggih kagungan…”.
(Oooo....Tupi ya punya)
Rupanya di beberapa desa, sebutan bukti SPPT di masyarakat adalah TUPI, entah dari mana kata itu berasal.
TS : “Nek bapak-bapak dereng mbayar pajek napa diparingi kartu TUPI-ne?” (kalau bapak-bapak belum membayar pajak, apa kartu Tupinya diberikan?)

KMT : “Lha nggih mboten, tapi angger diwenehna ya mesti dibayar jreng!”
(Lha ya nggak, tapi kalau dikasihkan ya pasti dibayar kontan!)
TS : “Wah, brarti TUPI-ne sing taun wingi kagungan sedaya?”
(Wah, berarti Tupi yang tahun kemarin punya semua?)
KTM : “Lha nggih, masa mboten?, mbok arepa wong cilik kan manut nang kewajibane ....." (Lha iya, masa tidak? Meskipun "orang kecil" tapi kan menurut dengan kewajibanya)
TS : "Wekdal semanten nate dipun suwuni ngampil teng Pengurus KTM mriki, SPPT sing paling enggal kan nggih? Kinten-kinten kagem napa pak?" (Waktu yang lalu, pernah Pengurus KTM sini pinjam SPPT yang terbaru kan? Kira-kira untuk apa pak?)
KTM : "Jarene arep dipoto kopi.... nggo bukti karangane dewek, dudu ngaku-ngaku...." (katanya mau di foto copy, buat bukti kalo pekarangan/lahan yang dikelola milik sendiri, bukan mengaku punya orang lain).
TS : "Angsal kan nggih? Eh, diparingi ngampil mboten pak?" (Boleh kan? Eh, dikasih pinjam nggak pak?)
KTM : " Lha nggih angsal mawon.... wong kene dudu nyolong nggone liya koh.... tapi sing ketemune sing lawas jee..... sing taun wingi mbuh ketlingsut nang endi..." (Ya boleh saja.... kita kan nggak mencuri punya orang lain.....tapi ketemunya yang lamaaa banget..... yang tahun kemarin terselip entah dimana....)
TS : "Lha angger sampun mbayar napa mboten disimpen?" (Lha kalau sudah membayar apa tidak disimpan?).
KTM : "Lha sing penting kan wis mbayar..... kon nyimpeni ya ora pati digatekna.... wong ngurusi butuh liyane ya wis med-medan....." (Lha, yang penting kan sudah membayar....disuruh menyimpan memang kurang diperhatikan.....mikir kebutuhan yang lain saja sudah pusiiiiing...)
TS : "Cekak aos kados ngaten pak....Tupi difoto copy 2, kangge teng kantor Koperasi kaliyan teng Pengurus KTM, sing asli dicepeng piyambak. Nek sampun wonten Tupi-ne kan berarti Bapak-bapak sampun mbayar pajek, brarti mboten nglanggar aturan sing wonten, lahane bapak nggih jelas mboten bermasalah wong duwe Tupine, umpamane ajeng nyade wit sing gedhe, kan butuh Tupi kagem ngurus Surat Ijin Tebang, dadi wis ora perlu ngrepoti njenengan maning, napamalih kathah sing mboten karuan nyimpene kan? Nah..... nek ngetutna aturan, mbayar pajek, ngurus SIT niku termasuk nglampahi Prinsip FSC sing nomer 1, sing wonten teng tanggalan niki..." (Ringkasnya begini pak... Tupi difoto copy 2, buat di kantor Koperasi dan Pengurus KTM, aslinnya dipegang sendiri. Kalau sudah ada Tupi-ya berarti Bapak-bapak sudah membayar pajak, berarti sudah tidak melanggar aturan yang ada, lahan bapak jelas tidak bermasalah, kan punya Tupi, seumpama mau menjual pohon yang sudah besar, butuh Tupi untuk pengurusan SIT (Surat Ijin Tebang), jadi tidak perlu merepotkan bapak lagi, apalagi bapak menyimpannya malas. Nah.... kalau mengikuti aturan, mbayar pajek, mengurus SIT itu termasuk menjalankan Prinsip FSC nomer 1, yang ada di kalender ini...."

KTM : "Oooooo.....brarti wis nglakoni Prinsip Ep Es Seee......?"

(bersambung)

No comments:

Post a Comment